Setelah melalui sebuah fase sejarah spektakuler yang menciptakan nasionalisme sektarian, Jepang merasa diri menjadi besar. Lalu, muncul ambisi untuk menguasai dunia. Jepang mencanangkan diri sebagai penguasa Asia Timur Raya. Atas motif provokasi, Jepang lalu menyerang Amerika. Di pagihari, 8 Desember 1941, pesawat dan kapal selam Jepang mengadakan serangan mengejutkan pada Amerika yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Pearl Harbor. Pemboman ini kemudian membawa Amerika ke kancah Perang Dunia II.
Amerika membalas dengan serangan telak, berupa pemboman dua kota penyangga ekonomi Jepang: Hiroshima dan Nagasaki. Dua kota itu hancur, dan Jepang terhenyak lalu mundur teratur. Kaisar Hirohito yang sangat dimuliakan rakyatnya memerintahkan agar perang dihentikan. Balatentara Dai Nippon yang bersemboyan Asia Timur Raya akhirnya takluk tanpa syarat kepada Sekutu dalam PD II yang menelan korban jutaan orang. Seluruh pasukan yang masih tersisa ditarik kembali.
Namun, akhirnya Jepang mampu bangkit lagi dari keterpurukan yang diciptakan oleh perang. Pertanyaan yang pertama kali terlontar dari Kaisar Jepang ketika mendengar kehancuran dua kota itu, bukanlah tentang jumlah panglima perang atau amunisi yang tersisa. Justru adalah, “berapa guru yang masih ada?”. Jika dirunut ke belakang, sebetulnya kebangkitan Jepang ini memang dipengaruhi satu faktor, yaitu mereka menempatkan ilmu dan pengetahuan dalam posisi penting sejak zaman Restorasi Meiji.
Restorasi ini berkonsentrasi di bidang pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tradisional menjadi modern. Programnya antara lain wajib belajar, pengiriman mahasiswa Jepang untuk belajar ke luar negeri (ke Perancis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor pendidikan secara drastis. Apa yang telah dilakukan Kaisar Meiji ketika itu adalah suatu keberanian yang nampaknya belum terpikirkan oleh para pemimpin kita saat ini. Buktinya, anggaran pendidikan 20 % hanya berhenti di kertas konstitusi.
Kembali kepada kebangkitan setelah pemboman Hiroshima, Jepang segera menyusun langkah kebangkitan. Seluruh waktunya lalu kembali digunakan untuk memperkuat basis ekonomi. Selain bertumpu pada karakter bangsa Jepang yang ulet dan tekun bekerja, faktor sentral kebangkitan itu karena konsentrasi Jepang yang hampir 100 persen di bidang ekonomi, sehingga ia dijuluki sebagai ‘bangsa asongan’. Untuk sementara, konflik politik Perang Dingin dan partisipasi dalam perdamaian dunia tak pernah diikuti Jepang. Langkah ini menuntun pada bangkitnya Jepang. Kunci utamanya ternyata adalah Jepang menerapkan prinsip Kaizen yang kemudian menjadi acuan bagi pola manajemen modern, terutama dunia bisnis.
Kaizen secara harfiah berarti continuous improvement, alias improvisasi berkelanjutan. Konsep ini, pada awalnya lahir karena kekecewaan orang Jepang yang belajar kepada perusahaan di Amerika. Setelah beberapa puluh tahun, ternyata perusahaan Amerika tidak pernah melakukan perubahan atau pengembangan dalam usaha, bahkan tetap persis sama dengan berpuluh tahun yang lalu ketika mereka ke sana pertama kali. Hingga lahirlah konsep kaizen ini.
Kaizen berarti peningkatan dalam keahlian. Hal ini memiliki maksud, kaizen erat sekali berhubungan dengan kesadaran akan pencarian masalah, kreativitas dan penciptaan ide, serta implementasinya. Ary Ginanjar Agustian mendefinisikan dengan lebih sederhana, bahwa kaizen berarti “mengambil yang baik, membuang yang buruk dan menciptakan yang baru.” Dibuktikan dengan produk-produk mobil Jepang yang irit, murah dan ringan. Yang secara sekaligus mengganti mobil buatan Barat yang boros, berat dan mahal.
Jika mengambil khazanah Islam, pengertian tersebut secara sangat kebetulan mirip dengan kaidah fikih yang berbunyi, “mukhafadah ’ala al-qadimi al-shalih, wa akhdu al-jadid al-ashlah”, yang berarti “mempertahankan perkara lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”. Kaidah ini tentunya sudah dikenal lama oleh kaum cerdik cendekia di kalangan kaum muslimin, karena digunakan sebagai pemutus hasil ijtihad fiqhiyah. Pada prinsip pokoknya, inilah kaidah bagi sebuah tajdid (pembaharuan) sebagai bekal kebangkitan bangsa.
Berdasar spirit kaizen dan tajdid tersebut, bangsa kita sebetulnya memiliki kans besar untuk membangkitkan potensi besar yang selama ini terpendam. Terdapat tiga hal yang pantas dijadikan renungan untuk kebangkitan bangsa.
Pertama, modernisasi adalah sebuah keniscayaan. Sebuah bangsa harus akomodatif, dan berenang dalam kenyataan yang jalin kelindan di sekitarnya. Misalnya dalam bidang ekonomi. Saat ini, kapitalisme liberal menjadi ideologi ekonomi paling berpengaruh di dunia. Namun tidak seluruh sisinya baik untuk diambil. Bahkan cenderung lebih banyak negatif akibat eksploitasi yang berlebih. Kemandirian ekonomi berbasis kerakyatan harusnya menjadi acuan pemerintah menyusun undang-undang.
Dalam pergaulan internasional—baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial—Indonesia harusnya mampu memposisikan diri sebagai bangsa yang berdaulat penuh. Jangan membiarkan sistem ekonomi liberal yang cenderung pada swastanisasi dan privatisasi menjadi acuan bagi regulasi bernegara. Karena itu, lahirnya UU PMA yang baru di awal tahun ini, merupakan sebuah langkah mundur bagi kemandirian bangsa Indonesia. Alih-alih mensejahterakan, justru aset negara akan banyak terbeli. Karena itu, mengikuti sistem internasional adalah sebuah keharusan agar Indonesia diterima dengan baik. Namun, harus ada pemilahan yang baik, sebagaimana prinsip kaizen di atas.
Kedua, orientasi terhadap ilmu pendidikan harus menjadi perhatian serius. Bercermin pada Jepang, prinsip kaizen yang mendunia itu tentunya tidak akan terjadi jika tidak didahului Restorasi Meiji yang memberi kesempatan belajar pada anak bangsanya secara luas. Sektor pendidikan harus menjadi prioritas pertama dalam pembangunan bangsa. Kaisar Hirohito juga pernah memerintahkan kepada ibu-ibu korban perang agar segera membentuk bun-ko, yaitu perpustakaan kecil di setiap RT. Selain peraturan negara, masyarakat juga proaktif secara mandiri membentuk “alat produksi” pengetahuan itu.
Dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) agar pemerintah memenuhi anggaran pendidikan minimal 20 persen di APBN. Keputusan tersebut telah ditegaskan MK saat sidang pembacaan putusan uji materiil anggaran pendidikan dalam UU No 18/2006 tentang APBN 2007 pada Hardiknas 2007. Artinya, pemerintah harus segera merealisasikan dalam APBN, sebagai langkah strategis pencerdasan anak bangsa.
Ketiga, adalah masalah kultur. Jepang mampu bangkit dengan tetap memegang teguh budaya dan karakter masyarakatnya. Tekun, tegas, patriotik dan toleran, itu beberapa di antara sifat bangsa Jepang. Ketegasan memegang tradisi ketimuran, menjadikan terpeliharanya norma kesopanan bersama tingginya tingkat pengetahuan yang melekat kuat.
Bangsa Indonesia, terlebih melihat fakta bahwa kita adalah negara terbesar berpenduduk muslim, memiliki nilai kultural yang sangat kuat. Baik budaya lokal asli maupun tuntunan agama yang dianut mayoritas masyarakatnya. Jika modernitas yang berkelindan di sekitar kita mampu disaring menggunakan norma, nilai dan pandangan budaya bangsa, niscaya kemandirian secara karakter akan terbentuk secara alamiah. Ketika karakter bangsa menjadi kuat, sebagaimana bushido di Jepang, spirit kebangkitan akan menyala terang di dada seluruh anak bangsa.[]